Pada umumnya, negara-negara kolonialisme akan
terus bertransisi untuk mengeruk kekayaan dengan sebanyak-banyaknya. Negara
kolonial dengan dalil demokrasi ekonomi mendirikan lembag-lembaga bantuan
keuangan internasional (IMF, Word Bank, Paris club, dan sebagainya) untuk
negara-negara berkembang. Negara kolonial mampu mengendalikan lembaga bantuan
keuangan tersebut dan sampai kapanpun lembaga keuangan tersebut tidak pernah
independen. Inilah yang menyebabkan negara berkembang semakin terlilit utang
dalam waktu yang tidak menentu.
Politik nasional negara-negara
berkembang tidak mampu melepaskan diribdari kolonialisme yang dengan sistem
ekonomi kapitalismenya tersebut. Jarang negara berkembang yang tetap konsisten
dalam memperjuangkan nilai-nilai otonomi dan kemerdekaannya. Negara berkembang
cendrung mengikuti model sistem perekonomian negara-negara industri (maju). Manusia
sudah menyalahgunakan makna “politik”. Politik yang
seharusnya sebagai“kecerdasan” dalam mengambil kebijakan beralih menjadi “kelicikan”.
Nilai kearifan sebagai landasan moralitas terhadap lingkungan diubah menjadi
moral negatif, yaitu kelicikan terhadap lingkungan sosialnya.
Dengan sikap politik tertentu
(kelicikan) para politisi dan jajarannya berdemokrasi (kompromi dagang sapi) untuk menetukan kebijakan
dasar yang menggunakan kesempatan besar bagi mereka untuk mendapatkan
keuntungan besar dari negara. Bagi mereka kekuasaan negara difungsikan sebagai
lahan subur untuk meeksploitasi habis-habisan kenikmatan hidup mereka. Atas
pengaruh ekonomi kapital, lahan subur itu “digadaikan” ke IMF dan sebagainya.
Kemunafikan sistem perpolitikan
di indonesia tumbuh dan berkembang sejak “Orde Baru”. Memasuki Era Reformasi
abad ke 21 mengakibatkan kebangkrutan perekonomian nasional dan diperparah oleh
kebangkrutan moral sementara golongan reformis itu sendiri. Kebejatan moral
sementara reformis itu sengaja atau tidak menumbuhkan sikap saling tidak
percaya secara masional, sehingga munculnya gerakan demonstrasi yang
kadang-kadang tidak masuk akal.
Kebangkrutan dunia perpolitikan
perlu segera diatasi dengan cara memposisikan politik sebagai “domain” terhadap
ekonomi. Nilai substansial politik adalah kebijakan etis bagi kehidupan
bernegara, bukan kekuasaan licik bagi para penyelenggaranya. Sistem politik
bukanlah dijiwai oleh moral premanisme, melainkan dijiwai oleh kebijaksanan
demokrasi nasional.
Dunia politik Indonesia secara
konstitusional jelas dijiwai oleh moralitas ‘‘keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia’’ bukan oleh keadilan sosial bagi seluruh pejabat
penyelenggara Negara. Rekonsiliasi
nasional tidak perlu berkiblat kemana-mana, cukup berkiblat kepada pancasila.
Oleh sebab itu, politik tidak
cukup tipelajari secara ilmiah, tetapi perlu dipelajari secara seksama
nilai-nilai filosofinya untuk kemudian dididikasikan dan dibudayakan oleh dan kepada
siapa pun.
Reverensi : Filsafat Pendidikan
Buku
: Suparlan Suhartono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar