Rabu, 24 Mei 2017

KEDUDUKAN WANITA PADA ZAMAN JAHILIYAH



Sebelum islam datang, kondisi dan kedudukan wanita bervariasi. Ada yang mengatakan, bahwa dikalangan bangsa Arab sudah terdapat beberapa kepala suku wanita seperti Ummu Aufah, Kindah, dan yang lainnya yang bermukim di Mekah, Madinah, Yaman, dan sebagainya. Mereka semua adalah  yang menentukan setiap kebijakan yang ada pada setiap suku yang mereka pimpin, namun jumlah mereka tidak banyak.
Di zaman jahiliyah kedudukan wanita tidak ada harganya dimata masyarakat. Mereka dianggap seperti barang yang diperjual-belikan. Pada zaman itu  laki-laki semaunya  menikahi perempuan  manapun yang mereka sukai. Dan yang paling  memprihatinkan terdapat dibeberapa suku (kabilah) ibu tiri menikah dengan anak tirinya dan saudara kandung menikah dengan sesama saudaranya.
Adapun mengenai tradisi mengubur anak perempuan   secara hidup-hidup tidak berlaku pada semua suku (kabilah) di Arab. Tradisi tersebut hanya terdapat pada 2 suku yaitu, Bani Tamim dan Bani Asad. Dua suku (kabilah) tersebut menganggap bahwa anak perempuan adalah faktor utama penyebab kemiskinan. Terdapat 2 alasan yang paling substansial yang melatarbekangi kenapa mereka membunuh anak perempuannya. Alasan yang pertama adalah faktor kependudukan yang menyebabkan kemiskinan. Setelah hancurnya bendungan Ma’arib di Yaman masyarakat berbondong-bondong  pindah ke Utara termasuk di kota-kota seperti Mekah, Madinah, damaskus, dan sebagainya. Urbanisasi besar-besaran ini sangat berdampat serius pada sektor ekonomi. Oleh sebab itu, anggota keluarga semakin sulit untuk mendapatkan makanan sehingga mereka membunuh anak perempuan mereka. (Q.S. Al-Isra’:31).
Alasan kedua adalah perempuan dianggap  sebagai pembawa aib. Apabila terjadi peperangan diantara kedua suku. Apabila suku A kalah atas suku suku B, maka suku B berhak untuk mengambil harta dari suku A tersebut. Selain itu suku B juga berhak berbuat apa saja terhadap  Istri dan anak perempuannya mereka. Istri dan anak perempuan suku yang kalah biasanya akan diperkosa secara kolektif (berjamaah) oleh suku yang menang tersebut, sehingga secara tidak langsung persepektif suku yang kalah lebih baik anak perempuan mereka dibunuh dari pada nanti akan menjadi santapan suku yang memenagkan peperangan tersebut.

Reverensi : Muhammad Abdul Karim
Buku        : Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar